Di Dalam Doa Ada Air Mata Ibu

Jendelakata.com - Jika seseorang bertanya padaku, bagaimana bentuk kasih sayang yang tulus. Seperti apakah cinta sejati? Maka aku akan menjawab, “Lihatlah sosok ibu. Dia yang pernah bertarung bersama maut demi membawa kita ke dunia. Dialah pemilik kasih sayang yang tulus, cermin cinta sejati”.
Sembilan bulan sepuluh hari ibu mengandung. Namun perjuangannya tidak berhenti hanya sampai kita berhasil menghirup udara luar. Dalam setiap doanya tak pernah lupa nama kita disebut. Karena doa ibu aku bisa di sini.


Ibuku, teladanku, kebanggaanku dan keluarga

Ibuku adalah sosok yang begitu hebat di mataku. Bagiku, ibuku adalah seorangstrong woman. Beliau teladanku dalam berbagai hal. Sejak kecil, ibu tak pernah lelah menemaniku. Ibuku adalah wanita tercantik dan paling lembut hatinya dari wanita-wanita yang pernah ku temui. Namun, ibu juga sosok wanita yang paling tegar dan teguh terhadap pendiriannya selama yang dia yakini itu benar. Ibu menjadi teladanku dalam mengarungi hidup. Ibu yang mengajariku supaya tak pernah henti mengingat Sang Pencipta, mengingatkanku untuk selalu menjaga hati.
Ibuku tak pernah mengenal kata lelah dalam mengenyam pendidikan. Beliau adalah seorang dokter gigi yang sangat baik dan di tahun 2010 ini ibu menyelesaikan pendidikan Doktor. Di saat aku dan adik-adikku terlelap, ibu masih saja terjaga di depan layar laptop menyelesaikan tugas-tugasnya. Saat Sang Mentari bahkan belum menampilkan senyumnya, saat aku masih juga meringkuk dalam hangatnya selimut, ibu sudah menyibukkan diri, bercakap-cakap dalam keheningan bersama Sang Pencipta sebelum memenuhi dapur dengan wangi masakan. Ibu tak akan pernah membiarkan Bapak dan ketiga buah hatinya beraktivitas di luar rumah tanpa sempat memasukkan makanan ke dalam perut.
Air mata ibu
Ibu tidak mudah meneteskan air mata. Namun ibu, tetaplah wanita yang lembut hatinya meski pendirian setegar karang. Saat hatinya terluka, ibu meneteskan air matanya. Saat buah hatinya bersedih, hatinya pun turut merasakan pilu. Betapa ku sadari air mata ibu sungguh mahal harganya dan tak terhitung berapa kali aku membuatnya menangis. Masih terus terkenang di dalam ingatanku. Kisah saat aku duduk di kelas 2 SMP, aku membuat ibuku menangis, menorehkan luka dalam hatinya.
Ibu selalu mengajarkan aku dan adik-adikku menjadi anak yang jujur. Sejak kecil aku orang yang moody. Segalanya ku lakukan berdasarkan mood. Sering aku merasa malas makan. Bukan karena aku tidak merasa lapar. Tapi malas itu benar-benar sudah masuk sampai pembuluh darah. Berulang kali ibu menyuruhku makan malam. Sebenarnya dari siang itu aku belum juga menyentuh makanan yang tersedia di meja makan. Karena tidak ingin makan, saat ibu bertanya, “Poet, sudah makan?”
“Sudah”, jawabku. Aku berbohong. Sungguh aku mengucapkannya dengan jantung berdetak lebih kencang.
“Makan pakai apa?”, Aku diam. Aku bahkan belum melihat apa yang terhidang. Bagaimana aku bisa menjawab. Aku diam. Aku bahkan tidak berani menatap matanya. Ibu terlalu mengenal buah hatinya. Ibu tidak memukulku, tapi dari kedua matanya mengalir bulir-bulir air mata. Air mata yang menandakan betapa hatinya terluka. Buah hatinya berbohong. Melihat air mata ibu, aku pun menangis. Betapa tidak berbaktinya aku, melukai hati ibu. Aku berulang kali meminta maaf dan segera duduk di meja makan, memakan makanan dengan pandangan yang kabur karena air mata. Sambil menemaniku, ibu berkata, “Buat apa ibu bekerja keras, membanting tulang jika bukan untuk mendapat penghasilan supaya kamu bisa makan. Supaya kamu menjadi anak yang sehat dan pintar”. Betapa mulia ibu ini. Bukan untuknnya sendiri beliau bekerja, tetapi untuk kebahagiaan buah hatinya. Saat ibu pergi, ibu tidak pulang dengan tangan kosong. Dia membawa pulang jajan-jajan kesukaan buah hatinya, Gery chocolates, keripik kentang, dan donat.
Ibu, maafkan putrimu yang sering melukaimu ini. Aku pernah membuatmu menangis karena keburukan sifatku. Tapi, pernahkah aku membuatmu menangis penuh haru karena merasa bangga terhadapku?
Ibu, kasih sayangmu, cinta kasihmu adalah harta yang tak ternilai bagiku. Aku bukan putrimu yang mudah berucap saat berbincang. Biarkan tulisan ini yang mengatakan isi hatiku yang tak mampu terucap dengan lisan.
Ya Allah, aku tak pernah tahu di mana akhir dari perjalanan hidupku. Aku juga tak pernah tau sampai kapan aku bisa melihat senyum lembut ibuku. Tapi ijinkan aku Ya Allah, ijinkan aku terus menebarkan senyum di wajahnya. Beri aku kesempatan untuk terus berbakti kepadanya, memberikan kebanggaan pada dirinya. Jika aku pernah membuatnya menangis karena dosa yang kubuat, ijinkan aku Ya Allah, ijinkan aku mengganti air mata itu dengan air mata yang lebih baik. Air mata yang mencerminkan betapa segala perjuangannya untukku tidaklah sia-sia.

Tags:

Share:

0 Komentar